Postingan

Menuju Unair Kampus Qurani

Bahagia sekali rasanya melihat taman-taman surga bertebaran di sekitaran kampus. Begitu indah dan menyejukkan tiap mata yang memandang. Kapan lagi wewangian surga dapat dengan mudahnya terhirup selain saat-saat ini. Ya, benar sekali. Apalagi kalau bukan karena halaqah-halaqah kecil dari para mahasiswa muslim baru. Tepatnya ialah halaqah dari Program Pelatihan Baca Al-quan. Pelataran masjid, gazebo-gazebo, perpustakaan, juga taman kampus nyaris tak pernah absen menjadi saksi mahasantri yang tengah belajar mengaji. Kini, Program Pelatihan Baca Al-Quran (PBA) sudah menjadi agenda rutin di Unair. Semakin tahun, penyelenggaraannya pun kian apik. Setiap kedatangan keluarga mahasiswa baru, PBA menjadi salah satu pembinaan wajib yang harus mereka jalani. Bahkan, menjadi salah satu persyaratan untuk bisa mengikuti ujian mata kuliah wajib agama islam. Kegiatan ini tentu saja memiliki banyak manfaat bagi para mahasiswa, diantaranya Meningkatkan kemampuan Baca Al-quran Sebelum kegiatan PBA di

Seperti Hajar

Ibu muda itu berlarian, berlalu lalang dibawah terik matahari padang pasir yang berkilat-kilat. Ia terus melangkah , tak peduli telah berulang-ulang meniti tempat yang sama. Pandangannya masih berkelebatan, mencari-cari genangan air yang ketika ia mendekat hanya lah fatamorgana. Sedang bayi merah yang kehausan itu masih terus menangis, meminta tolong kepada ibunya. S aat itulah, ketika ikhtiar sudah dilakukan sedemikian , tiba-tiba saja percikan air menggenangi kaki puteranya. “Zam zami.. zam zami..”, teriaknya kegirangan. Bibirnya tak henti berucap syukur. Allah telah membayar lunas jerih payahnya , maka s egera digunakannya air itu untuk menenangkan putranya. Ia tersenyum lega, sama sekali tidak menganggap sia-sia apa yang sejak tadi   di perbuat meski membuat tenaganya terkuras. Ia hanya yakin, Allah tidak akan menyia-nyiakan hambaNya, terlebih yang berusaha sepertinya. Entah hasil tersebut didatangkan lewat tangannya sendiri atau melalui jalan yang tidak dinyana,

Narsis Phenomenon

   Seolah-olah lumrah. Semasa SMA kemana-mana bersama. Begitu berpisah, menyapa saja susah. Seakan-akan wajar, saat semester A siang-malam bercengkrama. Lalu beberapa bulan kemudian seperti tak mengenal. Berpapasan saja malas. Meski tidak selalu berakhir kebencian, namun sesuatu yang menjadi berjarak, sedikit banyak akan terasa menyakitkan bukan? Alasannya aneka rupa, secuil salah paham, kesibukan, tak ada lagi kecocokan, hingga berujung menyerah dan mengikuti arah air saja. Hingga beberapa saat kemudian, takdir mempertemukan dengan beberapa orang lainnya. Yang lebih asyik, lebih mengerti, lebih gila dan tentu saja lebih klop. Kalau sudah begini, biasanya rawan muncul sindrom lupa daratan. Di tengah hati yang memang sedang berbunga-bunga, kadang tanpa sadar jari-jari jahil memposting puluhan foto gokil atau hastag bersama karib sejati. Macam-macamlah perkaranya, ungkapan syukur telah dipertemukan, merasa beruntung, pun sekadar membesarkan hati sahabat tercinta. Sebagian besa

Princes Frog

Hijau. Benyek. Basah. Licin. Lendir. Urghh . Jangankan mendekat, andai di kamar mandi ada sosoknya saja sehari tidak mandi sama sekali pun bisa jadi keputusan paling bijak. Ada yang suka kodok di sini? Maaf kalau kalimat pembuka tadi menyinggung. Anggap saja igauan seorang penakut. Mana berani saya mengatai salah satu dari sekian maha karya Tuhan yang tiada tara itu? Hanya soal selera. Kalau begitu mana yang tidak suka? Oh, berarti sama. Dan nampaknya proporsi kita lebih banyak sekarang. Tapi tenang dulu, saya tidak sedang benar-benar bahas kodok kali ini. Jadi tidak perlu mual-mual alay membayangkannya. Jadi begini ceritanya, Pagi itu ruang praktikum imunologi mendadak gaduh. Sebentar-sebentar histeris, lalu lari terbirit-birit. Naik kursi, saling membelakangi, ada juga yang berusaha pegangan siapa atau apapun yang didekatnya. Bagi yang cermat, tentu saja benar-benar menjadi kesempitan yang banyak sekali kesempatan. Saya sebenarnya tidak takut-takut amat, ta

Bulan Ketiga Belas (4)

Gerobak mienya berderit mendorong kursi kayu yang berdiri sembarangan. Barang-barang lain di sekelilingnya juga tak kalah berantakan untuk ukuran ruang tamu. Mobil-mobilan Doni, mainan, seragam TK, kandang jangkrik, hingga panci penggorengan sempurna menyulap rumah bagian depan Yanto itu serupa gudang. Sebenarnya kakinya pegal, namun melihat kondisi rumah sedemikian kacau membuatnya enggan beristirahat terlebih dahulu. Andai Erni di rumah, maka tak mungkin sesenti pun barang-barang itu bisa bergeser dari tempatnya. Ah, andai.. Yanto mengabiskan waktu hampir setengah jam untuk beres-beres. Ia bolak-balik kamar untuk sekedar mengembalikan barang demi barang dari sana, juga berkali-kali menuju dapur untuk membawa beberapa alat masak. Bukankah laki-laki memang tersetting untuk hanya fokus satu hal dalam setiap pekerjaannya? Tentu berbeda dengan Erni yang sekali jalan bisa membawa empat sampai lima jenis benda dengan tujuan berbeda. Tapi tak masalah, Yanto hanya perlu sedikit waktu un

Bulan Ketiga Belas (3)

Yanto mendorong gerobaknya dengan langkah gontai. Gulungan mie buatannya baru termasak separuh padahal hari sudah hampir gelap. Jarak rumahnya tinggal lima ratus meter. Biar begitu, sendok di tangannya tetap ia pukulkan pada mangkuk, berharap tetangganya ada yang lapar dan ingin makan mie ayam. Benarlah, tak lama kemudian muncul ibu-ibu lima puluh tahunan dari balik pagar rumahnya. Mencegat Yanto dan memesan tiga porsi mie ayam dengan kuah banyak seperti biasa. “Kok jarang lihat Erni ya, Tok? Kemana dia?” Bohong. Baru tadi pagi saat beli sayur ia dan ibu-ibu lainnya membicarakan Erni. “Oalah, iya buk. Erni lagi ndak di rumah. Udah seminggu ini ikut kerja di tempatnya Bu Rini”, jawab Yanto seringan mungkin. Ini bukan pertanyaan pertama yang terdengar olehnya, sudah puluhan bahkan setiap orang yang mengenalnya telah giliran bertanya. “Loh? Maksudnya ke Hongkong?”, Perempuan itu memasang muka kaget. Lagi-lagi pura-pura. “Iya bu. Coba peruntungan, siapa tahu rejeki kami di

Bulan Ketiga Belas (2)

Deru mesin kereta mengisi seluruh ruangan rumah Yanto. Bangunan tingkat dua yang ala kadarnya itu nyaris hanya berjarak dua meter dari rel kereta api. Tak heran jika setiap berapa jam sekali suasana jadi bising dengan ubin terasa bergetar. Beruntungnya, selama tinggal di sana belum pernah ada berita kereta anjlok di sekitar kawasan padat penduduk itu. “Sudah siap-siapnya?”, Yanto menyingkap korden usang yang berfungsi sebagai pintu kamar. Anak kecil yang tengah sibuk memegang botol susu sudah dari tadi digendongnya dengan tangan satu tangan. “Eh, iya sebentar lagi, mas. Mas bawa barang ke bawah dulu aja, Doni biar sama aku dulu”, usul Erni kepada suaminya, pandangannya tidak lepas dari cermin. Usai memakai gincu, ia mematutkan diri beberapa saat. Mengamati setiap inci wajahnya, siapa tau ada yang terlewati bedak. Yanto menurut, meletakkan bocah laki-laki berusia lima tahun itu di bibir bayang, lalu bergegas mengambil kardus mie instan yang berisi barang . “Doni dapet susu